Bisnis.com, JAKARTA--Belum lama ini, Kementerian Kehutanan dan Lingkungan Hidup menerbitkan beleid Peraturan Menteri No.20/2017 tentang Penerapan Baku Mutu Emisi Kendaraan agar bahan bakar minyak (BBM) standar Euro 4 bisa segera diterapkan. Sayangnya, harga masih menjadi tantangan utama terlepas dari apakah aturan itu harus berjalan di tahun 2019 atau 2025 mengikuti selesainya pembangunan kilang dalam negeri pada Rencana Umum Energi Nasional .
Bila digambarkan dari komposisi pasarnya, premium masih mendominasi. Vice President Corporate Communication PT Pertamina (Persero) Adiatma Sardjito mengatakan pilihan produk BBM sangat bergantung pada faktor harga. Umumnya, harga BBM jenis ini dijual dengan harga lebih tinggi dari premium, RON 88 yang harganya Rp6.450 per liter.
Saat ini, sebagai gambaran, pada kuartal I/2017, penjualan BBM menyentuh 15,85 juta kilo liter (kl). Untuk pangsa gasolin, masih dikuasai premium dengan kontribusi sebesar 45%, pertalite 37% dan pertamax 18%.
Upaya untuk menaikkan penjualan bahan bakar khusus dengan RON lebih tinggi menjadi tantangan tersendiri di kala harga minyak mentah dunia menunjukkan tren penaikan. Pasalnya, harga sangat sensitif untuk bisa mendorong konsumen beralih ke jenis bensin yang lebih bersih.
"Tantangan dari sisi konsumen yang paling utama adalah terkait dengan sensitivitas terhadap harga karena BBM dengan level Euro 4 kemungkinan akan sedikit lebih mahal harganya," ujarnya saat dihubungi Bisnis, Jumat (7/7/2017).
Tahun ini pun menjadi ujian apakah naiknya harga minyak akan mempengaruhi konsumen yang telah beralih dari premium. Oleh karena itu, pihaknya pun terus melakukan sosialisasi agar timbul kesadaran konsumen untuk memilih bahan bakar yang lebih bersih meskipun harus merogoh kocek lebih dalam.
Baca Juga
Begitu pula, pemahaman agar konsumen memilih bahan bakar minyak yang sesuai dengan spesifikasi kendaraan baru yang umumnya membutuhkan bahan bakar minyak lebih bersih.
"[Kami memberi] edukasi mengenai pentingnya menggunakan BBM yang memiliki kualitas yang sesuai dengan tuntutan spesifikasi kendaraan, serta edukasi mengenai pentingnya menjaga kesehatan lingkungan perlu terus-menerus disampaikan kepada publik konsumen," katanya.
Adipati, 40, salah seorang karyawan swasta di Jakarta menyebut dari sisi kesesuaian dengan spesifikasi mesin, dia masih bisa menggunakan BBM jenis pertamax yang harganya lebih murah. Menurutnya, perlu dipertimbangkan keterjangkauan harga produk bila pemerintah akan menerapkan standar emisi yang lebih rendah.
"Kalau masih ada pertamax, ya saya beli pertamax. Orang mobil saya pakai pertamax masih enggak apa-apa," katanya.
Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Daryatmo mengatakan bila produk dengan spesifikasi Euro 4 telah mengaspal, pemerintah perlu menyediakan bahan bakar yang sesuai. Menurutnya, harga bahan bakar tak akan menjadi masalah.
Pasalnya, spesifikasi kendaraan baru tentunya dijual dengan harga yang juga lebih tinggi. Dengan demikian, bila konsumen harus membayar bahan bakar yang lebih mahal, itu menjadi konsekuensi pembelian produk otomotif baru.
"Beli kendaraannya bisa berapapun harga BBM Euro 4 pasti akan juga sanggup," ujarnya.
Dia menilai industri otomotif yang harus memberi edukasi kepada masyarakat agar membeli bahan bakar sesuai dengan spesifikasi kendaraan. Namun, dia meyakini masyakarat yang mampu membeli kendaraan dengan standar emisi Euro 4 telah mengetahui bahwa performa kendaraannya akan lebih baik bila menggunakan BB yang juga standar Euro 4.
"Menurut saya otomotif yang harus mengedukasi dijelaskan bahwa ini menghasilkan performa maksimum," katanya.
Di sisi lain, dari segi kesiapan penyediaan BBM, proyek pembangunan kilang minyak dalam negeri pun mengalami perubahan. Tingginya biaya yang harus dikeluarkan membuat perseroan harus mengembalikan rencana pembangunan kilang agar lebih realistis.
Sebagai gambaran, untuk proyek penambahan kapasitas Kilang Balongan membutuhkan dana US$1,27 miliar, Kilang Balikpapan US$5,3 miliar, Kilang Cilacap US$4,5 miliar, Kilang Tuban sekitar US$13 miliar dan Kilang Bontang sekitar US$8 miliar.
Pertamina kini menjalankan enam proyek kilang bersamaan yakni empat proyek penambahan kapasitas kilang dan dua proyek kilang baru.
Empat proyek penambahan kapasitas kilang yakni Kilang Balikpapan, Kilang Balongan dan Kilang Dumai yang dibangun sendiri oleh Pertamina, Kilang Cilacap yang bermitra dengan Saudi Aramco. Dua kilang lainnya yakni Kilang Tuban dan Kilang Bontang merupakan kilang baru dengan kapasitas masing-masing 300.000 barel per hari (bph).
Dia menjelaskan untuk proyek penambahan kapasitas Kilang Balikpapan tahap 1 akan diselesaikan pada Juni 2020 dengan kapasitas 260.000 barel per hari (bph) menjadi 360.000 bph dengan standar Euro 2. Kemudian, pada tahap 2 selesai di 2021 dengan kapasitas yang sama namun standarnya naik ke Euro 5.
Proyek lainnya, yakni Kilang Balongan dimulai tahun ini ditarget selesai 2021 dari semula 2020. Kilang Balongan akan naik kapasitasnya dari 250.000 bph menjadi 450.000 bph.
Adapun, proyek yang dibangun dengan mitra yakni Kilang Cilacap dan Kilang Rosneft juga mundur dari target semula. Kilang Cilacap yang akan dibangun bersama Saudi Aramco akan selesai di 2023 dari target awal di 2021. Kemudian, Kilang Tuban yang dibangun bersama Rosneft akan selesai di 2024 dari semula 2021.
Sisanya, yakni kilang baru Bontang berkapasitas 300.000 bph dan proyek penambahan kapasitas Kilang Dumai masih menanti evaluasi perseroan targetnya. Padahal, sebelumnya Bontang ditarget selesai di 2023 dan Dumai selesai di 2024.
Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) IGN Wiratmaja Puja mengatakan pihaknya masih menginginkan agar penerapan standar Euro 4 disesuaikan dengan terbangunnya proyek kilang. Oleh karena itu, pihak pun masih melakukan penajaman peta jalan penerapan Euro 4.
"Penajaman roadmap-nya sedang in progress, karena sangat erat kaitannya dengan kesiapan kilang baru dan kilang revitalisasi," katanya.