Bisnis.com, JAKARTA - Indonesia dinilai berpeluang untuk menggandeng Brasil sebagai salah satu negara penghasil bioetanol terbesar di dunia, dalam rangka pengembangan bahan bakar nabati (BBN) jenis bioetanol untuk sektor otomotif.
Pakar otomotif dan akademisi Institut Teknologi Bandung (ITB) Yannes Martinus Pasaribu menilai bioetanol menjadi salah satu opsi menuju transisi energi bersih, selain kendaraan listrik berbasis baterai (battery electric vehicle/BEV) sehingga adopsi bioetanol perlu dipercepat.
“Kalau bicara bagaimana untuk mempercepat adopsi dan teknologi bioetanol bisa masuk ke skala keekonomian, bikin saja Indonesia perkuat kerja sama dengan negara-negara yang sudah matang teknologinya, salah satunya ya Brasil,” ujarnya dalam diskusi program Factory Hub di kanal YouTube Bisniscom, dikutip Selasa (26/11).
Perlu diketahui, bioetanol merupakan bahan bakar alternatif dari nabati seperti tebu atau jagung yang dapat dicampur dengan bensin dalam kendaraan bermotor pada konsentrasi hingga 10%. Sejumlah negara pun telah mengembangkan bioetanol, seperti AS, Brasil, hingga Eropa.
Adapun, Brasil merupakan negara penghasil bioetanol terbesar kedua di dunia, dengan produksi 8,3 miliar galon pada 2023. Tingkat adopsi bahan bakar etanol di Brasil jauh lebih tinggi dibandingkan dengan negara lain, dengan kendaraan berbahan bakar fleksibel (flexy fuel) menjadi jenis kendaraan ringan yang paling umum.
Jika mengacu data Statista, proyeksi nilai pasar bioetanol di seluruh dunia mencapai US$83,4 miliar pada 2023, atau sekitar Rp1.292,7 triliun (asumsi kurs Rp15.500 per dolar AS). Nilai itu diprediksi akan naik menjadi US$114,7 miliar atau sekitar Rp1.777 triliun pada 2028.
Baca Juga
Dengan potensi nilai pasar jumbo tersebut, menurut Yannes, kerja sama antara Indonesia dengan Brasil dalam hal pengembangan bioetanol sangat mungkin dilakukan. Sebab, Brasil juga merupakan salah satu negara anggota BRICS, dan Indonesia telah mengumumkan keinginan untuk menjadi anggota BRICS.
“Ya kerja sama, sangat memungkinkan dan dia [Brasil] kan masuk kelompok BRICS kan, artinya tidak terganggu lah kita sama yang kelompok G7 atau G20,” katanya.
Kendati demikian, Yannes juga menggarisbawahi bahwa Brasil telah melalui perjalanan yang cukup panjang dalam hal kemandirian energi menggunakan bioetanol sejak 1970 silam, atau saat negara-negara masih menggunakan minyak bumi secara masif, termasuk Indonesia.
"Tetapi yang saya ingat di Brasil itu tahun 1970-an 'berdarah-darah' di awal, waktu Indonesia lagi booming minyak bumi, mereka mulai beralih ke bioetanol dan membangun kemandirian energi dari nol, berat sekali, tetapi sekarang mereka bisa menikmati hasilnya," pungkas Yannes.
Prabowo Bahas Transisi Energi di KTT G20 Brasil
Diberitakan sebelumnya, Presiden Prabowo Subianto dan para pemimpin negara membahas soal isu pembangunan berkelanjutan dan transisi energi dalam Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G20 Brasil di Museu de Arte Moderna, Rio de Janeiro, Selasa (19/11/2024).
Prabowo mengatakan, Indonesia sepenuhnya berkomitmen untuk mengambil langkah-langkah untuk mengurangi suhu iklim, untuk menyelamatkan lingkungan, salah satunya dengan menggunakan bahan bakar nabati.
"Kami berkomitmen untuk mencapai energi terbarukan dan hijau. Kami diberkahi dengan banyak sumber daya, kami sekarang sudah memproduksi biodiesel dan kami perlu menargetkan produksi sebesar 50% [B50] dari minyak sawit," ujar Prabowo.
Selain mengembangkan teknologi untuk menghasilkan bensin dari minyak sawit, Presiden Prabowo menyebut Indonesia juga memiliki cadangan panas bumi yang besar dan Indonesia berencana untuk berencana untuk memensiunkan pembangkit listrik bertenaga fosil dalam 15 tahun.
"Kami juga akan membangun lebih dari 75 gigawatt energi terbarukan dalam 15 tahun ke depan. Kami juga berada di jalur khatulistiwa sehingga kami memiliki banyak sinar matahari untuk memberi daya energi solar kami," katanya.
Seiring dengan banyaknya sumber daya energi terbarukan yang dimiliki Indonesia, Prabowo sangat optimistis Indonesia bisa mencapai emisi nol sebelum 2050.