Bisnis.com, JAKARTA - Rencana Presiden Prabowo Subianto merelaksasi aturan TKDN terhadap produk Amerika Serikat (AS) diprediksi berdampak pada sejumlah sektor industri Tanah Air. Salah satunya adalah industri otomotif.
Prabowo menilai, kebijakan TKDN yang lebih fleksibel dan realistis bisa 'melunakkan' Presiden AS Donald Trump untuk menurunkan tarif impor resiprokal ke Indonesia yang saat ini dipatok 32%. Selain itu, sambungnya, aturan TKDN yang dipaksakan justru bisa memicu penurunan daya saing industri.
"Tapi kita harus realistis, TKDN dipaksakan akhirnya kita kalah kompetitif. TKDN fleksibel saja lah, mungkin diganti dengan insentif," ujar Prabowo di agenda Sarasehan Ekonom, Selasa (8/4/2025).
Merespons hal ini, kalangan ekonom pun menilai bahwa kebijakan TKDN yang diterapkan untuk meningkatkan daya saing industri nasional perlu dipertahankan. Namun, perlu ada penyesuaian dan reformulasi atas kebijakan tersebut.
Guru Besar FEB UI Telisa Aulia Falianty mengatakan, konsep TKDN cukup penting untuk mendukung pertumbuhan industri. Sebab, TKDN disebut dapat mendorong investasi sektor baru dan meningkatkan lapangan pekerjaan.
"Mungkin kita harus mengubah strategi mengenai TKDN, kita tidak menghilangkan 100% tapi menyesuaikan dengan dinamika yang ada, tapi tetap bisa melindungi domestik, kalau menurut saya," ujar Telisa kepada Bisnis, Rabu (9/4/2025).
Baca Juga
Menurut Telisa, konsep dari TKDN yang juga untuk melindungi keamanan industri dalam negeri telah sesuai dengan World Trade Organization (WTO) dalam kerangkan sekuritas nasional.
Pedang Bermata Dua
Dihubungi terpisah, Pakar Otomotif dan Akademisi Institut Teknologi Bandung (ITB) Yannes Martinus Pasaribu mengatakan, revisi aturan TKDN di industri otomotif oleh pemerintah Prabowo menawarkan peluang strategis untuk meningkatkan investasi asing dan daya saing global. Meski demikian, ada juga ancaman di baliknya.
"Revisi TKDN harus diimbangi dengan langkah taktis agar Indonesia tidak terjebak ketergantungan impor, bahkan mematikan industri komponen tier 1 hingga tier 3 yang ada, sehingga berdampak PHK," ujar Yannes kepada Bisnis, Rabu (9/4/2025).
Sisi positifnya, menurutnya revisi TKDN akan membuat para investor baru mungkin lebih tertarik membangun fasilitas perakitan di Indonesia, jika mereka tidak terbebani target TKDN yang sulit dipenuhi dalam waktu dekat.
"Ini sangat menarik bagi pabrikan China seperti BYD, Geely atau Chery, yang ingin masuk pasar Indonesia tanpa harus membangun ekosistem komponen lokal dari nol. Mereka bisa memulai dengan impor komponen utama, misalnya baterai EV atau sistem penggerak, sambil membangun fasilitas perakitan," katanya.
Lebih lanjut dia mengatakan, pabrikan tersebut dapat lebih cepat memulai dengan investasi awal lebih kecil membangun pabrik perakitan berbasis CKD (completely knocked down) daripada produksi penuh, memanfaatkan insentif pajak dan biaya produksi yang lebih rendah.
Di lain sisi, dia juga menekankan bahwa revisi TKDN tersebut perlu dilakukan dengan penuh kehati-hatian dan terus dicermati prosesnya berdasarkan pemikiran jangka panjang yang berorientasi pada penguatan potensi sumber daya dalam negeri.
Sebab, dampak negatifnya dalam jangka pendek, jika tidak dibangun regulasi yang memastikan industri lokal terlindungi, ratusan perusahaan lokal tier-1 dan tier-2 yang memproduksi komponen otomotif bisa kehilangan pasar, terutama jika mereka tidak mampu bersaing dalam hal harga atau kualitas.
"Lalu, industri komponen lokal yang menyerap banyak tenaga kerja, sulit bersaing dengan komponen impor karena kelonggaran TKDN, industri lokal ini bisa kehilangan pasar, sehingga ujungnya berpotensi mengurangi produksi, PHK, hingga penutupan pabriknya," pungkasnya.
Kesiapan Industri Lokal
Gabungan Industri Alat Mobil dan Motor (GIAMM) mengkhawatirkan kebijakan Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump terkait tarif impor sebesar 32% berpotensi berdampak negatif terhadap industri komponen otomotif nasional.
Sekjen GIAMM Rachmat Basuki menyoroti potensi banjirnya produk komponen otomotif dari China ke pasar Indonesia akibat kebijakan dagang Amerika terhadap China.
"Produk-produk murah dari China, terutama untuk kebutuhan aftermarket, dikhawatirkan akan melemahkan daya saing produk lokal," ujar Rachmat dalam keterangannya dikutip Selasa (8/4/2025).
Mengacu data Badan Pusat Statistik (BPS) impor dari China untuk kategori kendaraan bermotor dan komponen otomotif (HS 87) serta HS 98 (incompletely knocked down/IKD) tembus sebesar US$331,02 juta pada Januari 2025.
Secara terperinci, impor kendaraan dan komponen otomotif yang tertera pada HS 87 sebesar US$320,34 juta, sedangkan kategori HS 98 senilai US$10,68 juta.
Oleh sebab itu, GIAMM menilai perlu adanya langkah strategis pemerintah dalam menyikapi situasi ini. Mengingat, ekspor komponen otomotif Indonesia ke Amerika Serikat saat ini menempati posisi kedua terbesar setelah Jepang.
“Ini tentu berdampak besar bagi industri kita, karena sebelumnya tarif masuk ke AS relatif kecil. Sementara produk Amerika yang masuk ke Indonesia dikenakan tarif yang jauh lebih tinggi," katanya.