Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Pakar Ungkap Dampak Konflik Iran vs Israel terhadap Industri Otomotif RI

Ketegangan konflik di Timur Tengah antara Iran dengan Israel berisiko menimbulkan dampak terhadap perekonomian dunia, tak terkecuali industri otomotif.
Sejumlah mobil baru terparkir di salah satu pabrik di Bojongmangu, Kabupaten Bekasi, Jawa Barat, Rabu (13/3/2024). ANTARA FOTO/ Fakhri Hermansyah
Sejumlah mobil baru terparkir di salah satu pabrik di Bojongmangu, Kabupaten Bekasi, Jawa Barat, Rabu (13/3/2024). ANTARA FOTO/ Fakhri Hermansyah

Bisnis.com, JAKARTA –  Ketegangan konflik di Timur Tengah antara Iran dengan Israel berisiko menimbulkan dampak terhadap perekonomian dunia, tak terkecuali industri otomotif.

Terlebih, beberapa pabrikan mobil di Indonesia juga banyak yang mengekspor kendaraan ke negara-negara Timur Tengah, sehingga jalur logistik dan rantai pasok berpotensi terganggu.

Pakar Otomotif dan Akademisi Institut Teknologi Bandung (ITB) Yannes Martinus Pasaribu mengatakan, ketegangan geopolitik tersebut, walau tidak langsung, dapat memicu kenaikan harga minyak dunia yang pada akhirnya meningkatkan biaya logistik dan produksi.

"Selain itu, dapat memperlambat distribusi komponen otomotif berbasis petrokimia atau logistik internasional lainnya, serta berpotensi mengganggu stabilitas rantai pasok global, termasuk untuk produk semi-konduktor dan komponen kendaraan," ujar Yannes kepada Bisnis, dikutip Kamis (19/6/2025).

Menurutnya, pemerintah dan pelaku industri perlu berkolaborasi untuk mengambil langkah-langkah strategis guna mengantisipasi kemungkinan dampak tersebut. 

"Dari sisi pemerintah, ini jadi momentum untuk memperkuat ketahanan rantai pasok nasional dengan mendorong substitusi impor, penguatan kandungan lokal dan hilirisasi industri otomotif kita. Serta menjalin kerja sama dagang alternatif di luar kawasan berisiko tinggi tersebut," jelasnya.

Di lain sisi, penjualan mobil domestik masih melemah. Sepanjang periode Januari-Mei 2025, total penjualan mobil wholesales turun 5,5% (year-on-year/YoY) menjadi 316.981 unit, dibandingkan periode yang sama pada tahun sebelumnya sebanyak 335.405 unit. 

Sementara itu, penjualan mobil secara ritel pun susut 9,2% menjadi 328.852 unit, dibandingkan 5 bulan pertama 2024 sebanyak 362.163 unit.

Hal tersebut mencerminkan lesunya daya beli masyarakat seiring dengan kondisi ekonomi dalam negeri yang masih cenderung stagnan. 

Data Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, perekonomian Indonesia pada kuartal I/2025 tumbuh sebesar 4,87% secara tahunan alias masih di bawah 5%. Angka itu juga lebih rendah dibandingkan pertumbuhan 5,11% pada periode yang sama tahun sebelumnya.

"Kenaikan biaya hidup yang mengalihkan konsentrasi belanja kelas menengah ke kebutuhan lain yang lebih penting," kata Yannes.

Selain itu, menurutnya saat ini juga sedang terjadi pergeseran preferensi pasar ke arah kendaraan listrik (electric vehicle/EV), terutama dengan masuknya EV dengan harga yang lebih terjangkau dari China dan Vietnam.

"Namun, tanpa adanya peningkatan pertumbuhan ekonomi makro, proyeksi pasar otomotif Indonesia hingga akhir 2025 cenderung moderat bahkan stagnan," tuturnya.

Alhasil, perlu adanya kemampuan industri dalam merespons kebutuhan pasar yang dinamis ini melalui produk yang lebih terjangkau, efisien, dan sesuai dengan preferensi generasi baru, serta diiringi dengan daya beli yang diharapkan bertumbuh.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Penulis : Rizqi Rajendra
Bisnis Indonesia Premium.

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Bisnis Indonesia Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper