JAKARTA--Siapa yang paling dirugikan dalam konflik antara principal otomotif dan agen tunggal pemegang merek (ATPM)? Jawabannya adalah konsumen. Hal itu yang terjadi dalam kasus perceraian PT Korindo Heavy Industry dengan PT Hyundai Motor Company.
Seperti diberitakan Koran ini pada Jumat (22/2), seorang pengusaha angkutan truk bernama Ridani mengaku merugi hingga Rp200 juta karena kesulitan memperoleh suku cadang untuk memperbaiki tiga truk Hyundai yang dibelinya. Awalnya, Ridani membeli tiga truk Hyundai dengan cara kredit untuk mengembangkan usahanya. uang muka dari setiap unit truk tersebut Rp30 juta.
“Tujuh bulan berjalan ketiga truk mulai rusak dan dua unit di antaranya terpaksa saya kembalikan ke leasing karena pasrah tidak memperoleh spare parts,” ujarnya ketika memberikan kesaksian di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Kamis (21/2).
Subronto Laras, Presiden Komisaris IndoMobil Group, prihatin setelah membaca berita tersebut. Menurutnya, hal itu tak perlu terjadi jika tidak ada perubahan aturan main di industri otomotif nasional. Selama 38 tahun merintis usaha di sektor otomotif, cukup memberikan banyak pengalaman dan pemahaman bagi Subronto mengenai dinamika yang terjadi di bidang usaha tersebut.
“Konflik itu [Hyundai vs Korindo] sebetulnya tak perlu terjadi kalau aturannya seperti dulu,” ujarnya kepada Bisnis.
Dia berkisah, sebelum aturan berubah, yang namanya kemitraan atau kerjasama antara agen tunggal pemegang merek (ATPM) dengan principal sudah seperti perkawinan yang tak mudah diceraikan. Contohnya seperti Toyota merangkul Astra atau Suzuki mempersunting IndoMobil. Kedua produsen otomotif Jepang tersebut tak bisa bisa serta merta langsung menjual produknya di Indonesia tanpa bermitra dengan ATPM.
“Untuk mengambil alih Suzuki atau Toyota, ATPM juga setengah mati untuk membuka pasar karena butuh modal untuk pengadaan suku cadang dan menyediakan layanan purnajual,” tuturnya.
Konflik antara prinsipal dan ATPM sebenarnya pernah terjadi beberapa kali. Misalnya, Nissan dengan Indokaya, Suzuki dengan IndoHero, Mercedes Benz dengan Star Motor, dan Kawasaki Subaru dengan PT Insan Apolo.
Subronto cerita untuk bisa berpatner dengan Suzuki, dia harus mengambil alih IndoHero dengan segala macam konsekuensinya. “Jadi aturanya itu dulu tidak boleh langsung menjadi patner Suzuki. Saya harus ambil alih IndoHero yang merupakan ATPM untuk Suzuki Motor. Waktu itu dia punya kredit macet dan terbelit utang.”
Begitu pula dengan kasus Kawasaki-Subaru dengan perusahaan Insan Apolo. Insan Apolo selaku ATPM Kawasaki-Subaru pernah kena kasus penyelundupan karena memasukan barang tanpa membayar bea masuk. Karena kasus itu sempat lenyap merek Kawasaki-Subaru di Tanah Air.
“Kalau ada yang mau bermitra dengan Kawasaki, itu harus ambil alih Insan Apolo dengan segala tanggung jawabnya,” kata Subronto. “Tapi Edy Tansil masuk dengan memanipulai merek, tidak dengan Kawasaki, tapi dengan Binter. Perusahannya, Tunas Bekasi, sempat bermasalah.”
Seiring dengan liberalisasi ekonomi, regulasi pemerintah berubah. dengan alasan menghindari praktik monopoli, dimungkinkan perusahaan yang terdaftar sebagai impotir umum (IU) untuk memasukan dan memasarkan produk otomotif di Indonesia tanpa harus menyediakan layanan purnajual dan penyediaan suku cadang.
“Kalau dulu, agen pemegang merek harus bertanggungjawab penuh terhadap layanan purnajual, servis kendaraan, dan penyediaan suku cadang,” terangnya. “Kalau sekarang bebas, bisa beli Toyota di Astra atau melalui importir umum.”
Kasus yang menimpa Ridani, pemilik truk Hyundai, merupakan risiko yang sempat dikhawatirkan Subronto Laras terkait perubahan regulasi sektor otomotif. Kalau boleh berharap, Subronto ingin pemerintah mengembalikan peraturan seperti dulu. Dengan demikian, baik principal maupun ATPM sama-sama bertanggungjawab atas hal-hal yang timbul akibat penjualan produknya sehingga tidak merugikan konsumen.
“Dan kalau ada perusahaan yang nakal, tidak bayar pajak atau bea masuk, itu bisa tetap diuber pemerintah. Kalau sekarang, sia[pa yang mau tanggungjawab,” ketusnya.
Konflik antara Hyundai dan Korindo bisa menjadi pelajaran bagi semua pemangku kepentingan. Prinsipal tidak boleh seenaknya membuat kerjasama singkat atau memutus kontrak dengan ATPM di tengah jalan. ATPM selaku kepanjangan tangan principal juga harus menjaga kepercayaan dengan memberikan pelayanan kepada konsumen dan mengelola neraca perusahaan dengan baik. Namun untuk bisa memastikan semua itu, perlu ada aturan yang tegas dari pemerintah guna memberikan jaminan dan kepastian bagi konsumen, produsen, maupun ATPM.