Bisnis.com, JAKARTA- Gejolak sosial, krisis ekonomi, hingga perubahan lanskap global menguji hubungan Indonesia dan Jepang selama 65 tahun. Kerja sama inipun terbukti awet, mendatangkan berbagai keuntungan bagi kedua negara hampir di seluruh lapangan investasi, termasuk industri otomotif.
Pada tahun ini, hubungan diplomatik Indonesia-Jepang memasuki usia 65 tahun. Mengacu catatan sejarah, pemulihan hubungan kedua negara terjadi pada 1958, setelah adanya kontak diplomatik. Sejak saat itu, kedua negara terus membina keharmonisan.
Indonesia pada era 1960-an, jauh berbeda dengan kondisi saat ini. Lepas dari prahara internal yang terjadi pada 1965, Pemerintah Orde Baru menginginkan akselerasi ekonomi, membangun industri, hingga menggariskan cita-cita “Lepas Landas”.
Pada saat itulah kehadiran investor dari Jepang bak penyelamat. Semisal saja, untuk pembangunan perekonomian dibutuhkan peningkatan mobilitas barang dan orang, sedangkan Indonesia pada saat itu tak memiliki banyak opsi untuk transportasi.
Untuk memulainya, Pemerintah Orde Baru pun tak mudah. Saat itu, seluruh produk otomotif yang kini diandalkan sebagai mobilitas orang dan barang, murni impor utuh ataupun terurai. Pabrik-pabrik yang berdiri pun hanya berstatus sebagai perakitan umum.
Kondisi demikian membuat pemerintah putar otak. Sebagai jawaban, para investor Jepang yang tengah tumbuh sebagai raksasa manufaktur otomotif mau ikut mengembangkan industri otomotif. Mereka bersedia ikut program Kendaraan Bermotor Niaga Sederhana atau KBNS yang digunakan pemerintah sebagai jalan meretas industri otomotif sekaligus menutup kebutuhan mobilitas ekonomi riil.
Baca Juga
Di sisi lain, peran penting hubungan Indonesia-Jepang tidak saja pada sektor otomotif, melainkan pula terhadap sektor manufaktur lainnya, seperti industri logam dasar hingga farmasi. Tercatat hingga kini, Jepang merupakan salah satu negara mitra dengan porsi investasi yang besar.
Merujuk data Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM)/Kementerian Investasi, dalam 25 tahun terakhir, Jepang selalu menduduki peringkat 4 besar dalam penanaman modal asing secara langsung, dengan kontribusi rata-rata mencapai 11%.
Bahkan, pada saat periode krisis 1998-1999, investasi Jepang masih terus mengalir dan menjadi yang terbesar, sehingga menolong nasib perekonomian nasional. Secara konkret, berbagai manufaktur Jepang, terutama otomotif tidak hengkang manakala krisis moneter yang disusul krisis politik mendera Indonesia pada 25 tahun silam.
Periode kelam itupun tak cuma sekali terjadi. Era awal industrialisasi otomotif pada 1974, hubungan Indonesia-Jepang diuji dengan kerusuhan sosial yang diistilahkan sebagai Malari (Malapetaka 15 Januari). Peristiwa yang belakangan diungkap sebagai ekses persaingan politik di lingkungan militer itu, terjadi berbarengan dengan kunjungan Perdana Menteri Jepang Tanaka.
Protes mahasiswa semula terkait kondisi sulit perekonomian ternyata menyulut kerusuhan sosial, sehingga berujung pada sentimen antiproduk Jepang. Mobil-mobil keluaran produsen Jepang yang pada saat itu telah berani berinvestasi mendirikan pabrik, dirusak. Massa juga menggeruduk berbagai kantor perwakilan perusahaan Jepang, termasuk Kantor Pusat Toyota-Astra Motor di bilangan Sudirman-Thamrin.
Namun demikian, investasi Jepang tak lantas hengkang. Bahkan sejak peristiwa ‘Malari 1974’, seolah meyakinkan investasi Jepang, khususnya sektor otomotif untuk memperdalam industri hingga memperluas keterlibatan mitra maupun tenaga lokal.
RANTAI PASOK OTOMOTIF GLOBAL
Sektor industri otomotif merupakan bukti hubungan mesra Jepang-Indonesia. Selama 25 tahun terakhir, sektor otomotif mendapat porsi sepertiga dari seluruh realisasi investasi yang berasal dari Jepang.
Bahkan, sepanjang Januari-September, realisasi investasi sektor industri kendaraan bermotor dan bagiannya yang berasal dari Jepang telah mencapai US$668,3 juta. Jumlah itu menjadi yang terbesar di antara negara mitra lainnya.
Gencarnya investasi dari produsen Jepang inipun terlihat dari catatan positif produksi, pasar, hingga ekspor roda empat asal Indonesia. Berbagai produsen roda empat asal Jepang, menyumbang ekspor CBU sebanyak 333.926 unit, atau sekitar 89% dari total volume ekspor mencapai 379.498 unit sepanjang Januari-September 2023.
Terkait hal ini, Menteri Perindustrian Agus Gumiwang mengungkapkan signifikansi investasi Jepang di Indonesia layak jadi perhatian khusus pemerintah. “Dari sektor otomotif saja, produk asal Indonesia telah dikapalkan ke 100 negara di dunia, pendorong utamanya adalah investasi dari pabrikan Jepang yang menjadikan kita hub produksi,” ungkapnya.
Dalam 25 tahun terakhir, investasi otomotif asal Jepang mencapai berdasarkan catatan BKPM telah mencapai US$17,6 miliar. “Itu bukan jumlah yang kecil. Seluruh investasi pastinya dipergunakan untuk meningkatkan kedalaman industri, sehingga sekarang produk mobil kita sudah rata-rata mencapai TKDN di atas 80%,” jelas Agus.
KOMPONEN OTOMOTIF LOKAL
Berkah investasi Jepang inipun diakui para pelaku industri komponen. Berdasarkan data Gabungan Industri Alat Mobil dan Motor (GIAMM), saat ini industri otomotif khususnya roda empat menjadi gantungan sekitar 1,5 juta pekerja. Sebagian besar pekerja itu diserap sektor komponen Tier 1,2, dan 3, hingga bisnis purnajual.
Secara tidak langsung, ungkap Ketua Umum GIAMM Hamdhani Dzulkarnaen, investasi asal Jepang memperkuat rantai pasok industri otomotif, termasuk merangsang kehadiran produsen komponen lokal.
Dari catatan GIAMM, seluruh anggota yang merupakan produsen komponen khusus roda empat telah mencapai 240 perusahaan. Dari jumlah itu, terdapat 127 perusahaan yang merupakan pabrikan komponen asal Jepang.
“Setidaknya, ratusan perusahaan produsen komponen otomotif itu pun tergantung dengan manufaktur otomotif besar, 90% permintaan pasar industri berasal dari investasi Jepang ini,” kata Hamdhani.
Di sisi lain, dia berharap ke depan, investasi Jepang khususnya untuk sektor otomotif tak kendor. Terlebih lagi, aliran investasi itu bisa memperkuat dan mengembangkan industri komponen lokal menghadapi perubahan lanskap industri otomotif yang mengarah pada elektrifikasi.
“Kalau tidak dibantu dengan investasi yang memperkuat dan mengembangkan komponen lokal, banyak perusahaan akan gulung tikar jika dipaksakan untuk elektrifikasi. Para pelaku industri membutuhkan transisi,” simpul Hamdhani.
Hal inipun tengah dipikirkan para pelaku manufaktur. Berbagai prinsipal Jepang, seperti Toyota, Suzuki, Honda, dan Mitsubishi tengah meracik strategi transisi pasar dan industri otomotif nasional.
Selain memperkenalkan produk mobil listrik berbasis baterai, para prinsipal itu telah mewarnai pasar dengan model hybrid. Lewat model hybrid ini, para prinsipal pun menambah deretan investasi, terutama pengembangan baterai dan mesin.