Bisnis.com, SURABAYA - Industri otomotif dinilai bakal lebih tertekan pada tahun depan seiring penerapan tarif Pajak Pertambahan Nilai alias PPN 12% hingga penerapan opsen pajak.
Pemerintah berencana merealisasikan tarif PPN 12% pada 1 Januari 2025. Meski ditentang banyak kalangan, tampaknya pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menyepakati penerapan tarif tersebut pada awal tahun depan.
Belakangan, terlontar gagasan penerapan PPN 12% itu bersifat selektif. Artinya, tidak seluruh barang dan jasa yang dikenakan tarif dengan besaran tersebut.
Di sisi lain, banyak kalangan menilai PPN 12% bakal mengoreksi pertumbuhan ekonomi di tengah pelemahan daya beli masyarakat. Bahkan lembaga riset Center of Economic and Law Studies (Celios) dalam sebuah laporan merinci dampak luas penerapan tarif pajak yang sejatinya mengacu pada Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP).
Berdasarkan ketentuan Pasal 4 ayat 2 UU HPP, tarif PPN ditetapkan 11% pada 2022 dan naik menjadi 12% pada 1 Januari 2025. Kenaikan tarif itu didasarkan pertimbangan perkembangan ekonomi dan/atau peningkatan kebutuhan dana untuk pembangunan, dengan tarif terendah 5% dan tertinggi 15%.
Merujuk laporan Celios, kenaikan tarif PPN akan menyusutkan Produk Domestik Bruto (PDB) hingga Rp65,3 triliun, karena mengikis konsumsi rumah tangga sebesar Rp40,68 triliun.
Baca Juga
“Artinya PPN 12% mengancam pertumbuhan ekonomi 2025,” tulis Celios, dikutip pada Kamis (5/12/2024).
Dalam narasi laporan, Celios secara umum melihat dampak PPN 12% akan menggerogoti daya beli kelas menengah bawah, serta khususnya Gen Z.
Sebaliknya, di tengah upaya mengejar target pertumbuhan maupun penguatan daya beli masyarakat, pemerintah malah bisa memberikan stimulus. Celios menambahkan andai pemerintah menurunkan tarif PPN menjadi 8% saja, rangsangan terhadap peningkatan PDB mencapai Rp133,65 triliun.
“Sebab ada ruang penyesuaian tarif PPN dari 5-15%,” tegas Celios.
Momok tarif anyar fiskal itupun dirasakan industri otomotif. Di tengah penjualan domestik melorot hingga 15% diakibatkan daya beli rendah serta kesulitan akses kredit masyarakat, penetapan tarif PPN 12% dinilai kurang tepat secara waktu.
“Untuk tahun ini saja pasar domestik diperkirakan tidak mencapai 850 ribu unit, tahun depan dengan beban PPN 12%, kemungkinan bisa di bawah capaian itu," kata Wakil Presiden Direktur PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia (TMMIN) Bob Azam.
Sejalan dengan rekomendasi Celios, Bob menilai dengan situasi sekarang, pemerintah perlu memberikan stimulus bukan malah mengerek tarif fiskal.
“Dengan stimulus fiskal, penerimaan pajak justru akan naik, karena ekonomi bergerak. Jangan naikan tarif, malah penerimaan pajak terancam menurun,” jelasnya.
Lebih jauh, Bob menjelaskan sewaktu pasar otomotif domestik mengalami penurunan tajam akan berdampak secara jangka panjang bagi keunggulan komparatif Indonesia. Saat ini, Indonesia masih merupakan salah satu hub produksi regional yang dibanjiri investasi sektor otomotif.
“Dampak ke depannya akan lebih luas, sedangkan ongkos untuk pemulihan dan investasi baru itu sangat mahal,” tegas Bob.
Opsen Pajak
Selain kemelut soal PPN, industri otomotif juga tengah cemas dengan penerapan opsen pajak. Opsen pajak adalah pungutan tambahan pajak menurut persentase tertentu, berdasarkan Undang-Undang No 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (HKPD).
“Tentunya opsen pajak ini akan menambah beban jika pada akhirnya tarif BBNKB dan PKB juga dikerek pemerintah daerah,” ujar Bob.
Sebelumnya pada kesempatan terpisah, Ketua Umum Gaikindo, Yohannes Nangoi mengatakan, opsen pajak yang dipungut oleh pemerintah daerah akan membebani para pelaku industri otomotif pada tahun depan.
"Yang lebih berat buat kami, kami melihat itu adalah kenaikan [pajak] daripada Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 mengenai BBNKB. Karena itu kenaikannya akan sangat tinggi," ujar Yohannes beberapa waktu lalu.
Nantinya pemerintah kabupaten/kota memungut opsen dari Pajak Kendaraan Bermotor (PKB), Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor (BBNKB). Sementara itu, pemerintah provinsi dapat memungut opsen dari Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan (MBLB).
“Saat ini [BBNKB] yang berlaku kira-kira sekitar 12,5%. Kalau dia berlaku sampai misalnya 19% atau 20%, kalau dia naik 6% saja, itu untuk mobil Rp200 juta, kira-kira dampaknya bisa sekitar Rp12 juta. Ditambah PPN, ditambah segala macam, dampaknya akan berat,” jelasnya.
Menurutnya, pemerintah perlu mempertimbangkan kebijakan tersebut, terutama dengan kondisi ekonomi saat ini yang mengindikasikan daya beli masyarakat melemah. Gaikindo pun berusaha untuk menjaga agar tidak terjadi pemutusan hubungan kerja (PHK) massal di industri otomotif.
“Terus terang, kalau kita bisa bilang, soal UU No 1/2022 tolong disesuaikan dengan kondisi ekonomi saat ini lah. Jangan terlalu drastis. Karena Pak Menteri [Agus Gumiwang] bilang, jangan sampai ada PHK, nah ini yang kita coba tahan,” kata Yohannes.
Penjualan Mobil Semakin Lesu
Ketua I Gaikindo Jongkie D. Sugiarto menilai penjualan mobil akan sulit bertumbuh di tengah berlakunya beberapa kebijakan perpajakan baru secara bersamaan, di mana berpeluang mendongkrak harga jual unit kendaraan.
"Keadaannya memang tidak memungkinkan. Kami lihat 2025 tadinya juga optimis. Kami bilang, oke kembali ke 1 juta [unit terjual], ya kan? Tapi ini, terus terang saja, PPN dan Opsen Pajak, kami khawatir dengan kenaikan harga sekaligus yang begitu besar dan malah jadi kontraproduktif," jelasnya ketika ditemui selepas acara diskusi bersama Asosiasi Perusahaan Pembiayaan Indonesia (APPI), Kamis (5/12/2024).
Jongkie menjelaskan bahwa apabila kebijakan-kebijakan perpajakan itu berlaku, perhitungan awal pihaknya mengindikasikan adanya peningkatan harga jual unit mobil baru sekitar 7%. Akan tetapi, nilai ini bergantung pula dengan bagaimana kebijakan pemerintah daerah (Pemda) tertentu dalam konteks menerapkan Opsen Pajak.
Oleh sebab itu, demi menolong penjualan tidak terlalu anjlok, Jongkie berharap agar Pemda tidak menerapkan kebijakan Opsen Pajak yang bisa sekonyong-konyong mendongkrak harga jual mobil secara signifikan.
"Kami sudah menyampaikan kepada beberapa Pemda, tolong diperhitungkan, kalau sampai nanti terjadi penurunan angka penjualan, yang dirugikan Pemda juga. Karena harapan ingin mendapatkan pendapatan masuk lebih banyak, tapi kalau masyarakat tidak jadi beli mobil, bagaimana? Bukan dapat lebih banyak, malah dapat lebih sedikit, ya kan?" jelasnya.
Sebagai gambaran, kebijakan Opsen Pajak secara umum bertujuan mencatat tambahan pajak PKB dan BBNKB sebagai pendapatan Pemda Kabupaten/Kota secara langsung di muka, atas perhitungan tertentu atas tarif yang ditetapkan oleh Pemda Provinsi. Oleh karena itu, hanya wilayah DKI Jakarta tidak terdampak kebijakan ini.
Berdasarkan pemantauan Bisnis terhadap aturan perpajakan anyar dari beberapa Pemda, besaran beban perpajakan maksimum yang akan dibayar oleh konsumen pada era Opsen Pajak ini sebenarnya bisa tetap setara dengan mekanisme sebelumnya, asalkan Pemda Provinsi terkait mengimbanginya dengan penurunan dasar pengenaan tarif pajak. Hanya saja, belum semua Pemda Provinsi menelurkan ketentuan resmi terkait hal ini.
"Jadi harus jaga keseimbangan. Kami khawatir kalau sampai ini [penjualan] turun terus, dari 850.000 unit tahun ini, tahun depan turun lagi ke 700.000 unit mungkin, itu yang bahaya apa? Produksi turun, kemudian ancaman PHK. Nah, ini yang kami sangat-sangat tidak mengharapkan akan terjadi di industri otomotif," tutupnya.
Senada, Ketua Umum APPI Suwandi Wiratno menjelaskan bahwa isu ketidakpastian akan penerapan Opsen Pajak di beberapa daerah juga menggerus ekspektasi penjualan mobil baru melalui industri multifinance di daerah.
Pasalnya, kenaikan harga jual mobil akan berpengaruh terhadap besaran uang muka (DP). Padahal, di tengah kondisi daya beli yang belum pulih betul, besaran DP sangat mempengaruhi keputusan masyarakat ketika ingin mengambil kredit kendaraan.
"Target 2025 di tengah situasi isu-isu yang ada, kami masih berharap kalau kita bisa tunggu antara 8% sampai 10%. Nah, ini menjadi awal hitungan kami ketika Gaikindo masih optimis penjualan mendekati 1 juta [unit]. Tapi nanti harus melihat kembali, bagaimana kalau Gaikindo benar-benar melakukan revisi penjualan hanya 600.000-700.000 unit," jelasnya ketika ditemui.