Bisnis.com, JAKARTA - Sederet agen pemegang merek (APM) tengah putar otak merancang strategi untuk menghadapi risiko pelemahan industri otomotif pada 2025 seiring dengan berbagai aral melintang.
Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo) mengkhawatirkan dampak pungutan opsen pajak oleh pemerintah daerah hingga kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12% tahun depan berisiko menekan industri otomotif. Terlebih, pemerintah juga menaikkan upah minimum provinsi (UMP) 2025 sebesar 6,5%.
"Memang tahun depan akan ada kenaikan PPN, Opsen Pajak, UMP dan lain-lain. Kami perkirakan akan semakin sulit untuk mendapatkan angka-angka penjualan yang baik," ujar Ketua I Gaikindo, Jongkie Sugiarto kepada Bisnis, dikutip Kamis (12/12/2024).
Perlu diketahui, opsen pajak adalah pungutan tambahan pajak menurut persentase tertentu, berdasarkan Undang-Undang No 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (HKPD).
Nantinya pemerintah kabupaten/kota memungut opsen dari Pajak Kendaraan Bermotor (PKB), Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor (BBNKB). Sementara itu, pemerintah provinsi dapat memungut opsen dari Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan (MBLB).
Mengacu data terbaru Gaikindo, sepanjang Januari - November 2024, total penjualan mobil secara wholesales tercatat sebesar 784.788 unit atau turun 14,7% secara year-on-year (YoY) dari periode sama 2023 sebesar 920.518 unit.
Baca Juga
Sementara itu, penjualan ritel juga turun 11,2% YoY menjadi 806.721 unit pada periode 11 bulan 2024, dibandingkan 908.473 unit pada periode yang sama 2023.
Alhasil, Jongkie mengatakan pihaknya berharap penjualan mobil sampai akhir 2024 dapat menyentuh 850.000 unit. Pasalnya, angka tersebut telah direvisi dari sebelumnya sebesar 1,1 juta unit tahun ini.
"Kami harapkan sampai akhir tahun angka penjualan mobil bisa mencapai 850.000 unit," pungkas Jongkie.
Strategi Para APM
Produsen mobil asal Korea Selatan, PT hyundai Motors Indonesia (HMID) mengungkapkan strategi untuk menggenjot penjualan di tengah risiko lemahnya industri otomotif pada tahun depan.
"Untuk strategi Hyundai di tahun depan, yang dapat kami sampaikan adalah tentunya Hyundai akan terus memperkenalkan berbagai lini produk baru yang kami juga yakin akan mendapatkan sambutan positif," ujar Chief Marketing Officer Hyundai Motors Indonesia, Budi Nur Mukmin kepada Bisnis.
Sepanjang 2024, Hyundai pun gencar meluncurkan model-model baru, di antaranya yakni All New Kona Electric (BEV), Santa Fe Hybrid, Tucson Hybrid, dan akan ada satu model Hyundai N Line terbaru yang akan meluncur akhir tahun ini. Diprediksi, akan ada enam model baru yang akan diperkenalkan Hyundai pada 2025.
"Kami tidak tahu suku bunga dan nilai tukar rupiah akan ke arah mana, belum lagi PPN, opsen pajak dan sebagainya, itu faktor yang kami tidak bisa kontrol. Faktor yang bisa kami kontrol adalah produk yang kami keluarkan. Kami ingin memberikan penyegaran agar konsumen tertarik," tutur Budi.
Mengacu data Gaikindo, sepanjang periode 11 bulan 2024 penjualan Hyundai tembus 20.543 unit dengan pangsa pasar (market share) sebesar 2,5%.
Di lain sisi, Produsen otomotif asal Jepang, PT Honda Prospect Motor (HPM) memiliki strategi berbeda. Perseroan akan fokus untuk menggenjot penjualan di akhir tahun 2024, agar para konsumen tidak menunda pembelian kendaraan pada tahun depan.
Sales & Marketing and After Sales Director PT Honda Prospect Motor (HPM), Yusak Billy mengatakan penerapan pajak ini dapat memberikan tekanan terhadap penjualan kendaraan karena menurunnya daya beli konsumen.
"Untuk itu, kami mempersiapkan program penjualan di akhir tahun ini sehingga mendorong konsumen tidak menunda pembelian kendaraan hingga tahun depan," tutur Billy saat dihubungi Bisnis.
Alhasil, dia mengatakan Honda akan terus memantau implementasi kebijakan ini dan menyesuaikan strategi agar tetap dapat memberikan solusi terbaik bagi konsumen.
Adapun, penjualan Honda secara ritel atau dari diler ke konsumen tembus hingga 92.327 unit pada periode Januari-November 2024. Pangsa pasar Honda sebesar 11,4%.
Tak ketinggalan, PT toyota Astra Motor (TAM) yang dinaungi oleh PT Astra International Tbk. (ASII) juga menyiapkan strategi dengan menyesuaikan harga jual mobil seiring dengan kenaikan pajak pada 2025.
"Pada awal tahun [2025] untuk beberapa faktor ini tentu mempengaruhi peningkatan harga mobil yang cukup signifikan dan berdampak terhadap penjualan pasti ada ya," kata Marketing Director Toyota Astra Motor, Anton Jimmi Suwandy kepada Bisnis.
Alhasil, menurutnya Toyota akan terus memantau dinamika pada tahun depan agar bisa memberikan solusi mobilitas serta price positioning yang sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan pelanggan.
"Sehingga solusi yang diberikan kepada pelanggan bisa tetap kompetitif dan menjawab kebutuhannya. Kami juga berharap ada support pemerintah untuk mendorong pasar otomotif di tahun 2025, terutama bagi model-model yang telah diproduksi lokal," pungkas Anton.
Sementara itu, sepanjang periode 11 bulan 2024, Toyota Astra Motor membukukan penjualan mobil secara ritel sebanyak 268.288 unit, dengan pangsa pasar terbesar 33,3%.
Prediksi Pasar Otomotif 2025
Pakar otomotif dan akademisi Institut Teknologi Bandung (ITB), Yannes Martinus Pasaribu menilai proyeksi industri otomotif di Indonesia tampak suram dengan berbagai tekanan yang mempersulit kelangsungan pasar pada 2025.
"Semua itu akibat dari akumulasi kenaikan UMP 6,5%, PPN menjadi 12%, kenaikan BBNKB, PKB, efek kenaikan kurs dolar akibat ketergantungan pada komponen impor industri mobil yang ada di Indonesia," jelas Yannes saat dihubungi Bisnis, dikutip Kamis (12/12/2024).
Menurutnya, estimasi menunjukkan harga mobil bisa naik hingga 9%, membuat kendaraan semakin sulit dijangkau konsumen yang belum jelas apakah akan mampu meningkat penghasilannya pada tahun depan.
Lebih lanjut dia mengatakan, kebijakan pemerintah saat ini menekan kalangan masyarakat kelas menengah (middle income class) yang saat ini turun jumlahnya menjadi 47,85 juta dari 57,33 juta pada 2019.
"Jadi proyeksi penjualan mobil tahun 2025 turun hingga 30%, setara dengan 500.000 unit seperti di era pandemi Covid, pun sudah menjadi sebuah prediksi yang realistis tanpa ada genjotan ekonomi untuk middle income class di Indonesia dari pemerintah," pungkas Yannes.