Bisnis.com, JAKARTA - Prospek pasar mobil listrik murni (battery electric vehicle/BEV) akan terdampak oleh kebijakan Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump yang mengakhiri mandat kendaraan listrik, yaitu aturan untuk meningkatkan adaptasi kendaraan elektrifikasi yang diinisiasi Mantan Presiden AS Joe Biden.
Menurut Trump, mandat kendaraan listrik tidak mendukung industri otomotif AS yang memproduksi kendaraan berbasis bahan bakar minyak (BBM) atau internal combustion engine (ICE). Selain itu, Trump juga akan mendorong produksi serta penggunaan minyak dan gas.
Pakar otomotif dan akademisi Institut Teknologi Bandung (ITB), Yannes Martinus Pasaribu mengatakan, kembalinya AS ke minyak bumi dan ICE memang akan memberikan dampak memperlambat langkahnya ke ekosistem energi baru terbarukan dan akan semakin berseberangan dengan kebijakan yang disepakati semua negara G7.
"Tetapi, dampaknya tidak akan sebesar dulu ketika AS masih menjadi pasar otomotif terbesar. Dominasi China, kebangkitan BRICS, dan komitmen negara-negara lain terhadap elektrifikasi akan memitigasi dampak negatif dari kebijakan AS yang juga memproteksi pasar dalam negerinya terhadap berbagai produk EV China," ujarnya kepada Bisnis, Selasa (21/1/2025).
Menurutnya, saat ini, pasar otomotif global sedang mengalami pergeseran kekuatan yang signifikan ke arah Asia, dengan BRICS sebagai pusat pertumbuhan baru. Alhasil, kata dia, produsen otomotif yang ingin sukses di masa depan harus mampu beradaptasi dengan dinamika baru ini, dengan fokus pada pasar berkembang, teknologi EV dan keberlanjutan.
Indonesia sebagai salah satu pasar ke-14 terbesar dunia dan hub di Asean dapat memposisikan diri sebagai basis produksi BEV untuk pasar Asia Tenggara dan bahkan BRICS.
Baca Juga
"Dengan populasi yang besar dan permintaan EV yang diprediksi akan terus meningkat di kawasan-kawasan tersebut, Indonesia berpotensi menjadi salah satu pemain penting dalam ekspor BEV melalui kerja sama dengan negara-negara BRICS dalam pengembangan industri BEV," jelas Yannes.
Lebih lanjut dia mengatakan, BRICS, dengan potensi pasar yang sangat besar, akan menjadi medan pertempuran baru bagi para produsen EV. China dan Eropa akan terus membangun infrastruktur pengisian daya EV, terlepas dari kebijakan AS.
"Sebagai catatan, produk BEV yang kuat dari AS tinggal Tesla saja dengan segmen pasar upper class, sedangkan pasar terbesar dunia ada di segmen middle low. Jadi, walaupun permintaan EV mungkin melambat di AS, tetapi akan terus tumbuh di China, Eropa, dan pasar negara berkembang lainnya," pungkasnya.
Diberitakan sebelumnya, tren penjualan kendaraan listrik (electric vehicle/EV) secara global diramal kian moncer pada 2025, seiring dengan potensi kenaikan pangsa pasar di berbagai negara.
Berdasarkan riset S&P Global Mobility, diproyeksikan penjualan global untuk mobil listrik berbasis baterai (BEV) akan naik 30% menembus angka 15,1 juta unit pada 2025.
Sebagai gambaran, sepanjang 2024, diperkirakan ada 11,6 juta mobil listrik BEV secara global. Alhasil, pangsa pasar BEV juga diprediksi naik menjadi 16,7% tahun depan, dibandingkan 2024 sebesar 13,2%.
Adapun, China diprediksi tetap menjadi yang terdepan dalam adopsi kendaraan listrik, dengan proyeksi akan menguasai pangsa pasar 29,7% pada 2025. Prediksi peningkatan EV di China sebesar 20% secara tahunan (year-on-year/yoy).