Bisnis.com, JAKARTA - Toyota tengah mengatur strategi sebelum memulai penjualan mobil berbahan bakar hidrogen di Indonesia, di tengah lesunya pasar mobil hidrogen global. Jika tak ada aral melintang, Toyota akan mulai menjual mobil hidrogen di RI pada 2030 mendatang.
Berdasarkan data SNE Research, sejak 2017 hingga 2023, kendaraan listrik hidrogen (fuel cell electric vehicle/FCEV) mencatat pertumbuhan tahunan rata-rata 25,1%. Namun, tren penjualan mobil hidrogen mulai turun sejak 2022 hingga 2024.
Pasar mobil hidrogen dunia pada 2024 turun 21,12% (year-on-year/yoy) menjadi hanya 12.866 unit, dibandingkan periode 2023 sebanyak 16.413 unit.
Bahkan, penjualan mobil hidrogen Toyota di global ambles 50% menjadi 1.917 unit pada 2024, dibandingkan 3.839 unit pada 2023. Penjualan itu termasuk kendaraan hidrogen untuk penumpang maupun kendaraan komersial.
Engineering Management Division PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia (TMMIN) Indra Chandra Setiawan mengatakan, melambatnya penjualan mobil hidrogen karena popularitasnya kalah jauh dibandingkan mobil listrik berbasis baterai (battery electric vehicle/BEV).
"Betul datanya mamang terjadi perlambatan karena memang ada alternatif, jadi BEV juga kalau kita lihat baterai itu per kWh kan sebelumnya di atas US$1.000. Nah, beberapa tahun belakangan dengan economic of scale akhirnya harga baterainya per kWh itu bisa lebih murah,” ujar Indra dikutip Rabu (16/4/2025).
Baca Juga
Terlebih, banyak produsen mobil listrik BEV asal China yang kini mengembangkan baterai lithium ferro phosphate (LFP) dengan bahan baku besi, yang jauh lebih murah dibandingkan baterai EV berbasis nikel. Alhasil, menurutnya harga baterai EV saat ini sudah di bawah US$100.
"Jadi untuk passenger car ya dengan mempertimbangkan kecepatan pengenalan charging station. Akhirnya yang di dunia memang akselerasinya lebih cepat yang BEV dibandingkan FCEV,” jelasnya.
Alhasil, Toyota tengah putar otak untuk menggenjot kendaraan hidrogen, salah satunya dengan beralih ke segmen kendaraan komersial heavy duty seperti truk hingga forklift FCEV yang dinilai belum banyak pesaing untuk saat ini.
“Namun, kami tidak berhenti di situ saja, karena kalau misalnya satu jalan buntu ya kami cari jalan lain. Karena teknologinya sama, fuel cell stack-nya sama. Nah, bagaimana kami pivoting ke misalnya hidrogen untuk heavy duty, yang saat ini belum banyak juga yang masuk ke produksi massal,” katanya.
Menurut Indra, akan lebih masuk akal jika kendaraan komersial menggunakan teknologi hidrogen daripada berbasis baterai. Adapun, pihak Toyota telah melakukan riset pengembangan kendaraan hidrogen di Thailand sejak 2023.
Tantangan di Indonesia
Perlu diketahui, Toyota sudah memiliki mobil penumpang berbahan bakar hidrogen Toyota Mirai dan Crown FCEV. Namun, perseroan tetap akan mengembangkan kendaraan komersial berbasis hidrogen.
Kendati demikian, Indra mengakui bahwa penjualan truk hidrogen di Indonesia juga menghadapi tantangan, salah satunya yakni dengan adanya truk berbasis biodiesel yang bahan bakarnya juga disubsidi oleh pemerintah.
“Nah, kalau di Indonesia agak sulitnya lagi di sini terus terang, kami sudah punya alternatif biodiesel. Artinya, kan secara emisi dengan close to carbon itu sudah 40% lebih murah. Plus solarnya disubsidi jadi Rp6.800," kata Indra.
Artinya, sulit bagi Toyota untuk mengembangkan truk berbahan bakar hidrogen di Indonesia, jika dibandingkan truk berbahan bakar biodiesel yang infrastrukturnya sudah lebih matang.
“Nah, ini tantangan yang terberat untuk kami kalau head-to-head itu akan sangat sulit, kalau hidrogen dibenturkan dengan biodiesel. Karena infrastruktur yang satu [biodiesel] sudah matang dan disubsidi, dibandingkan satu [hidrogen] yang masih baru mulai dan tidak ada dukungan insentif, ya mungkin akan sangat sulit,” pungkasnya.
Namun, tak menutup kemungkinan bahwa pihak Toyota akan terus berkomunikasi dengan pemerintah agar kendaraan hidrogen bisa mendapatkan insentif.
ESDM Janjikan Insentif Hidrogen
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) akan menggodok regulasi sebagai landasan hukum dan insentif penggunaan hidrogen sebagai sumber energi baru di Indonesia untuk mendukung pengembangan ekosistem.
Menteri ESDM Bahlil Lahadalia mengatakan, pemerintah akan menyiapkan regulasi dan insentif implementasi hidrogen apabila potensi pasar dan investor mulai masuk ke Indonesia. Pemerintah pun berupaya menarik investor dengan meluncurkan peta jalan hidrogen dan amonia.
"Kalau ditanya, bagaimana regulasinya? Memang selama ini kita bikin regulasi itu baru mobil listrik, belum hidrogen. Kalau sudah banyak, sudah bagus, dan kita lihat potensi market-nya sudah ada, maka pemerintah harus melakukan penyesuaian," ujar Bahlil dalam Global Hydrogen Ecosystem 2025 di JCC, Senayan, Selasa (15/4/2025).
Begitupun dengan peluang digelontorkannya insentif pemerintah bagi investor yang mengembangkan hidrogen. Bahlil akan mulai menggodok apabila proposal investasi masuk.
"Sama dengan dulu ketika Hyundai ingin membangun pabrik mobil listrik di Karawang, itu pertama kali. Saya pikir akan seperti itu juga, mobil hidrogen, tinggal kita lihat variabel mana yang pemerintah hadir untuk memberikan insentif agar feasible ketika dia melakukan investasi," tuturnya.