Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Imbas Tarif Trump dan Pelemahan Dolar AS, Toyota Ramal Laba Tahunan Anjlok 21%

Toyota memperkirakan laba tahun fiskal yang berakhir Maret 2026 sebesar 3,8 triliun yen (US$26 miliar), turun tajam dari 4,8 triliun yen setahun sebelumnya.
Logo Toyota di New York International Auto Show, di Manhattan, New York City, AS, 5 April 2023./REUTERS
Logo Toyota di New York International Auto Show, di Manhattan, New York City, AS, 5 April 2023./REUTERS

Bisnis.com, JAKARTA – Raksasa otomotif Toyota Motor memperkirakan penurunan laba sebesar 21% untuk tahun fiskal berjalan, seiring melemahnya dolar AS dan tekanan dari tarif perdagangan yang diberlakukan oleh Presiden Donald Trump.

Melansir Reuters, Kamis (8/4/2025), Toyota memperkirakan laba operasional hingga Maret 2026 akan berada di angka 3,8 triliun yen (setara US$26 miliar), turun tajam dari 4,8 triliun yen pada tahun sebelumnya.

Toyota mencatat biaya langsung akibat tarif sebesar 180 miliar yen hanya dalam dua bulan pertama tahun fiskal, sementara fluktuasi nilai tukar disebut sebagai faktor paling membebani, dengan dampak mencapai 745 miliar yen.

Melemahnya dolar AS, yang sebagian dipicu ketidakpastian seputar kebijakan tarif Trump, memperkecil pendapatan Toyota saat dikonversi dari pasar AS, yang menjadi salah satu pasar utama perusahaan.

CEO Toyota Koji Sato mengatakan detail mengenai tarif ini masih sangat kabur, dan hal ini membuat langkah perusahaan menjadi penuh tantangan.

“Apakah ini akan bersifat permanen atau tidak, kami pun belum tahu,” ungkap Sato dalam konferensi pers.

Analis memperingatkan bahwa tarif berisiko mendorong harga mobil naik di pasar seperti AS, yang dapat memukul daya beli dan sentimen konsumen.

Laba operasional Toyota untuk kuartal Januari-Maret tercatat hanya naik 0,3% ke angka 1,12 triliun yen.

Namun, kerugian operasional di pasar Amerika Utara yang menjadi wilayah penjualan terbesar Toyota justru membengkak menjadi 100 miliar yen dari 28 miliar yen pada periode yang sama tahun sebelumnya. Hal ini disebabkan oleh penghentian sementara produksi di pabrik Indiana.

Analis otomotif CLSA Christopher Richter mengatakan jika tarif ini terus berlaku, Toyota bisa kesulitan mencapai target laba barunya.

“Saat ini penjualan masih bagus karena konsumen panik dan buru-buru membeli. Tapi apa yang terjadi jika tarif ini terus berlaku? Mereka harus menaikkan harga jual. Mampukah Toyota menaikkan harga jika itu terjadi?,” ungkapnya.

Selain itu, Toyota juga menghadapi tekanan dari biaya tenaga kerja yang tinggi serta potensi investasi tambahan bila memutuskan memperluas basis produksi di AS.

Meski penurunan penjualan di China tidak separah rival Jepang lainnya, Toyota tetap kesulitan bersaing di pasar otomotif terbesar dunia itu, terutama karena dominasi merek lokal.

Namun, ada secercah harapan dari pasar domestik. Jepang, yang menjadi penyumbang keuntungan tertinggi bagi Toyota, mencatat lonjakan laba 18% pada kuartal terakhir.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Bisnis Indonesia Premium.

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Bisnis Indonesia Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper