Bisnis.com, JAKARTA- Proses nikel sebagai bahan baku utama baterai masih menempuh jalan berliku, meskipun pemerintah telah menggelontorkan insentif bagi mobil listrik.
Hal itu disampaikan Kepala Riset Ekonomi Hijau dan Iklim LPEM Fakultas Ekonomi & Bisnis UI Alin Halimatussadiah dari LPEM FEB UI. Dia mengungkapkan sejauh ini salah satu alasan utama pemerintah mengguyur mobil listrik dengan berbagai insentif, adalah keinginan untuk penghiliran nikel.
Sejak 2020, pemerintah telah melarang ekspor mentah nikel. Harapannya, berbagai investor membangun berbagai fasilitas produksi berbagai produk hilir nikel, khususnya baterai dan mobil listrik.
Pada 2023, total produksi nikel Indonesia mencapai 1,8 juta ton, dari jumlah itu sebagian besar masih dikapalkan ke luar negeri, 85% tujuan ekspor ke China.
Baca Juga : Ini 5 Mobil Listrik yang Mejeng di GIIAS 2025, Tawarkan Harga Murah hingga Desain Premium |
---|
Sebaliknya, penghiliran nikel sebagai bahan baku utama baterai, tidak lebih dari 5%. Hal itu seiring masih minimnya proses midstream yang mengolah nikel sebagai prekursor.
Dari sisi rantai produksi nikel, terdapat dua cabang penghiliran. Bahan baku baterai hanya salah satu jurusan yang mengandalkan cadangan biji nikel berbasis limonit, serta memerlukan pemurnian dengan metode High Pressure Acid Leaching alias HPAL.
HPAL kemudian mengolah biji nikel limonit hingga berbentuk Mix Hydroxide Precipate (MHP) maupun Mix Sulphate Precipitate (MSP). Kedua olahan itu masih membutuhkan sulfat nikel dan kobalt untuk dijadikan prekursor, sebagai material sel baterai.
Dari sekian proses tersebut, rantai produksi masih harus berlanjut hingga perakitan modul dan pengemasan baterai. Persoalannya, dari keseluruhan proses, rantai produksi nikel itu masih terputus sejak fase pemurnian/smelter.
“Dari peta jalan pengembangan industri mobil listrik, banyak yang tidak sesuai target. Terutama pada proses lanjutan setelah smelter,” ungkap Alin, dalam "Gaikindo International Automotive Conference (GIAC) 2025", Selasa (29/7/2025).
Alhasil, selepas proses pemurnian, mayoritas olahan nikel limonit langsung dikapalkan. “Nikel Indonesia banyak diolah menjadi baja nirkarat, sedangkan hanya 5% dari produksi untuk pengolahan baterai,” jelas Alin.
Lebih jauh, berdasarkan paparannya, pada sisi hilir manufaktur mobil listrik pun masih cukup rendah. Sebagian besar merek mobil listrik terutama yang menikmati kebijakan insentif, tetap mengutamakan perakitan, bukan pembangunan ekosistem produksi.
Lambannya proses manufaktur mobil listrik itupun tergambarkan dari proporsi investasi yang masih rendah. Bayangkan saja, dari tujuh merek mobil listrik, realisasi investasi yang dikucurkan hanya sekitar US$911 juta.
Jumlah itu sangat timpang dengan porsi investasi untuk pabrik mobil listrik berikut rantai pasok di berbagai negara. “Minimal mereka mengucurkan dana ratusan miliar dolar,” simpul Alin.
Di lain sisi, pemerintah mematok target kepada para produsen mobil listrik tersebut untuk menggarap produksi perdana secara lokal pada 2027. Hanya saja, para produsen pun menghadapi berbagai tantangan, terutama permintaan potensial yang lambat laun bakal tergerus akibat kelesuan perekonomian nasional, andaikata sokongan insentif tidak diberikan.
“Selain itu, mereka pastinya melihat konsistensi kebijakan,” tutup Alin.