Bisnis.com, JAKARTA – Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo) menanggapi fenomena 'perang harga' di industri otomotif Tanah Air, di tengah lesunya daya beli masyarakat.
Sejatinya, fenomena perang harga di industri otomotif sudah terjadi di berbagai negara di dunia. Indikasi perang harga itu terlihat melalui potongan harga besar-besaran atau diskon langsung, di tengah situasi oversupply atau produksi yang melebihi permintaan.
Sekretaris Umum Gaikindo Kukuh Kumara pun mengakui bahwa kondisi industri otomotif Indonesia sedang tidak baik-baik saja, karena mengalami stagnasi yang sudah cukup lama, lebih dari 10 tahun terakhir.
Alhasil, dia tidak menginginkan pasar otomotif Indonesia juga menjadi medan perang harga. Sebab, industri ini melibatkan jutaan tenaga kerja dan UMKM dalam rantai pasok otomotif.
“Ini adalah industri yang sangat strategis dan penting sekali. Kita tidak ingin ini jadi medan perang harga. Harusnya bisa menjadi lahan untuk basis produksi industri kendaraan bermotor di kawasan Asean,” ujar Kukuh di GIIAS 2025, Kamis (31/7/2025).
Di Indonesia, indikasi perang harga terjadi di kalangan mobil listrik pabrikan asal China yang ramai-ramai mulai memangkas harga jual kendaraannya. Hal itu terjadi di tengah lesunya penjualan mobil domestik.
Baca Juga
Sepanjang periode Januari-Juni 2025, total penjualan mobil wholesales ambles 8,6% year-on-year (yoy) menjadi 374.740 unit, dibandingkan periode yang sama pada tahun sebelumnya sebanyak 410.020 unit.
Sementara itu, penjualan mobil secara ritel pun turun 9,7% menjadi 390.467 unit, dibandingkan 6 bulan pertama 2024 sebanyak 432.453 unit.
“Sekarang kita mengalami tahapan berikutnya lagi, kita harus berubah. Kita menghadapi hal baru dengan masuknya kendaraan baru dari Tiongkok, harganya juga kompetitif,” katanya.
Di lain sisi, data Gaikindo mencatat, terdapat lebih dari 1,5 juta orang yang bekerja di sepanjang rantai pasok otomotif dari tier-1 sampai tier-3.
Kukuh mengatakan, turunnya penjualan mobil juga tak lepas dari melemahnya daya beli kelas menengah (middle income class) yang kini jumlahnya sekitar 10 juta hingga 11 juta orang. Masalahnya, kenaikan penghasilan kelas menengah tak mampu mengimbangi kenaikan harga mobil.
“Kajian menunjukkan, kelas menengah income-nya hanya naik sekitar 3,5% setahun sesuai inflasi. Namun harga mobil yang menjadi incaran utama kelas menengah tadi naiknya 7,5%, gap-nya makin lama makin besar. Ini yang harus diantisipasi, industri otomotif harus diselamatkan," pungkasnya.