Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Respons Toyota saat Pemerintah Buka Peluang Insentif Mobil Bioetanol

TMMIN merespons pemerintah yang membuka peluang insentif untuk kendaraan berbahan bakar nabati (BBN) bioetanol.
Pertamax Green 95, bbm campuran bioetanol 5 persen, mulai dijual di sejumlah SPBU di Jakarta dan Surabaya/Bisnis-Nyoman Ary Wahyudi
Pertamax Green 95, bbm campuran bioetanol 5 persen, mulai dijual di sejumlah SPBU di Jakarta dan Surabaya/Bisnis-Nyoman Ary Wahyudi

Bisnis.com, JAKARTA - PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia (TMMIN) merespons pemerintah yang membuka peluang insentif untuk kendaraan berbahan bakar nabati (BBN) bioetanol. Pasalnya, sebagian besar mobil Toyota telah memiliki teknologi flexy fuel berbasis bioetanol.

Sebelumnya, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menyebut jika produsen kendaraan bioetanol ingin diberikan insentif, maka perlu berkomitmen untuk membangun ekosistem dari hulu ke hilir, serta menarik investasi layaknya kendaraan listrik berbasis baterai.

Kendati demikian, Wakil Presiden Direktur TMMIN, Bob Azam, mengatakan ekosistem bioetanol sejatinya membutuhkan kolaborasi dari berbagai pihak, agar efek ekonominya dapat dirasakan secara meluas.

"Tidak bisa dari hulu ke hilir hanya dipegang oleh satu pihak, harus melibatkan banyak pihak supaya multiplier effect ekonominya dirasakan terutama para petani di sektor hulu. Seperti juga biodiesel dengan sawitnya di hulu," ujar Bob kepada Bisnis, Kamis (26/9/2024).

Lebih lanjut dia mengatakan, banyak negara sekarang sudah memiliki kebijakan untuk mencampur etanol sebagai bahan bakar, dengan kandungan 5% (E5) hingga 10% (E10). Hal itu bertujuan untuk mengurangi emisi, menambah porsi energi baru terbarukan (EBT), dan meningkatkan nilai tambah petani.

Sejauh ini, di Indonesia sudah ada Pertamax Green 95, BBM campuran bioetanol 5% yang dijual di 75 SPBU di Jakarta dan Surabaya. Implementasi penggunaan campuran bioetanol 5% pada bensin, yang dikenal dengan istilah E5, ini secara bertahap akan ditingkatkan menjadi 10% pada 2029.

Meski demikian, progres pengembangan bioetanol itu tergolong lambat, sebab jika mengacu Peraturan Menteri ESDM Nomor 12 Tahun 2015, seharusnya Indonesia sudah menggunakan campuran etanol sebesar 20% pada 2025. 

"Ini bukan hanya menyangkut produsen otomotif tapi kebijakan energi nasional dan masyarakat sebagai konsumennya," katanya.

Bob juga menyoroti target bauran EBT di Indonesia pada 2025 yang awalnya ditetapkan sebesar 23%, saat ini, telah diturunkan menjadi 17-19%. Pada akhir 2023, bauran EBT di Indonesia baru mencapai 13,1%. Hal ini masih jauh dari target yang ditetapkan.

"Apalagi saat ini pencapaian renewable energy kita masih behind the curve dari target 23% sekarang masih di level 13%. Bagaimana dengan target NDC tahun 2030, apakah akan tercapai?" pungkasnya.

Peluang Mobil Bioetanol Dapat Insentif

Diberitakan sebelumnya, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) membuka peluang insentif bagi kendaraan berbahan bakar nabati (BBN) bioteanol.

Meskipun demikian, Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian ESDM, Eniya Listiani Dewi mengatakan bahwa belum ada pembahasan khusus terkait pemberian insentif untuk kendaraan bioetanol hingga saat ini. 

Menurutnya, peluang itu tetap ada karena semua pelaku usaha yang berkomitmen untuk melakukan mitigasi iklim atau penurunan emisi mendapatkan insentif melalui nilai ekonomi karbon.

“Nah, skenario-skenario itu mungkin membangun ya. Nanti untuk bisa memberikan insentif yang semacam itu, mau larinya ke mana kan nanti tergantung dana [APBN]-nya nih,” kata Eniya di sela acara Green Initiative Conference di Jakarta, Selasa (24/9/2024).

Lebih lanjut dia menekankan, jika produsen kendaraan bioetanol ingin diberikan insentif, maka perlu berkomitmen untuk membangun ekosistem dari hulu ke hilir, serta menarik investasi layaknya kendaraan listrik berbasis baterai.

Sebagai contoh, produsen otomotif asal Korea Selatan, Hyundai membangun fasilitas packing baterai yang berlokasi di Cikarang, Jawa Barat. PT Hyundai Energy Indonesia yang menjalankan fasilitas produksi packing itu menelan investasi sebesar US$60 juta, atau sekitar Rp900 miliar.

Tak hanya Hyundai, ada juga PT Indonesia BTR New Energy Material sebagai produsen anoda untuk baterai kendaraan listrik di Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Kendal, Jawa Tengah. Fasilitas produksi baterai itu telah diresmikan Presiden Joko Widodo pada 7 Agustus 2024.

PT Indonesia BTR New Energy Material adalah anak usaha dari BTR New Material Group, perusahaan asal China yang merupakan salah satu produsen utama komponen anoda di dunia. Investasi perusahaan ini di Indonesia dilakukan dalam dua tahap, dengan nilai US$478 juta pada tahap pertama dan US$299 juta pada tahap kedua.

“Nah, ekosistem ini kalau lahir, maka insentif juga bisa diberlakukan. Karena ada kompensasi, investasi masuk kan. Makanya kami menekankan adanya ekosistem,” jelas Eniya.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Penulis : Rizqi Rajendra
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper