Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Industri Otomotif Masuk Resesi: Pajak Terlalu Tinggi, Daya Beli Rendah

Industri otomotif disebut telah masuk zona resesi, karena pajak terlalu tinggi, sedangkan daya beli masyarakat rendah
Pekerja memeriksa mobil impor dan ekspor di kawasan pelabuhan PT Indonesia Kendaraan Terminal, Tanjung Priok, Jakarta, Kamis (1/8/2024).
Pekerja memeriksa mobil impor dan ekspor di kawasan pelabuhan PT Indonesia Kendaraan Terminal, Tanjung Priok, Jakarta, Kamis (1/8/2024).

Bisnis.com, JAKARTA - Industri otomotif di Indonesia disebut telah masuk zona resesi, lantaran penjualan mobil terus mengalami penurunan selama dua tahun beruntun.

Peneliti Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Universitas Indonesia (LPEM UI) Riyanto mengatakan, secara definisi, resesi terjadi ketika kondisi ekonomi turun selama dua triwulan berturut-turut (atau lebih), disertai dengan pelemahan indikator ekonomi lainnya.

“Jadi, industri otomotif itu bukan hanya dua triwulan, tetapi sudah dua tahun ini turun kan penjualannya. Itu namanya resesi. Industri otomotif itu sebenarnya mengalami resesi, kalau berdasarkan definisinya itu,” jelas Riyanto dalam Diskusi Forum Wartawan Industri (Forwin), dikutip Jumat (23/5/2025).

Mengacu data Gaikindo, penjualan mobil sempat menyentuh angka 1,04 juta unit pada 2022, namun terus mengalami penurunan dalam dua tahun terakhir, hingga menjadi 865.723 unit pada 2024.

Sementara itu, penjualan mobil wholesales Januari-April 2025 tercatat 256.368 unit, atau turun 2,9% secara tahunan. Alhasil, Riyanto memprediksi penjualan mobil hingga akhir 2025 akan turun 11% menjadi sekitar 770.000 unit.

“Kami perkirakan sekarang 2025 kalau pakai penjualan sampai April atau empat bulan, dikalikan tiga saja sederhananya, menjadi 12 bulan. Kira-kira akhir tahun turun 11%. Dari 2024 sebanyak 865 ribu mungkin 770 ribuan. Ini kalau linier," jelasnya.

Menurutnya, penyebab lesunya industri otomotif karena pajak kendaraan terlalu tinggi, seperti Pajak Penjualan Barang Mewah (PPnBM), Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor (BBNKB), Pajak Kendaraan Bermotor (PKB), dan Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Di lain sisi, daya beli masyarakat kian melemah.

Terlebih, tahun ini diberlakukan pungutan opsen pajak di beberapa daerah, sehingga Riyanto menyebut bahwa kondisi industri otomotif saat ini ibarat peribahasa 'sudah jatuh tertimpa tangga'.

Dia mengatakan, pemerintah perlu mengkaji pengurangan struktur pajak mobil baru secara permanen, atau ada insentif pajak untuk mengurangi harga jualnya. Misalnya, insentif PPnBM DTP seperti pada masa pandemi Covid-19.

“Dalam jangka pendek, perlu kebijakan fiskal seperti saat pandemi, entah itu diskon PPN atau PPnBM untuk menyelamatkan industri dari krisis. Hal yang penting adalah harga kendaraan turun,” ungkapnya.

Sementara itu, dalam jangka panjang, menurutnya pemerintah perlu membuat kajian untuk menemukan tarif pajak ideal dari sisi industri dan negara. Intinya, jangan sampai industri dan masyarakat terbebani pajak yang kini 40% lebih. Tarif ini perlu dikurangi.

Dia menilai, mestinya pemerintah tak perlu takut rugi ketika memberikan insentif pajak ke industri mobil. Sebab, dampak ekonomi insentif ini sangat besar. 

Hitungan Riyanto, pemberian insentif PPnBM 0% dapat menyumbangkan PDB 0,8% dan tambahan tenaga kerja di otomotif 23 ribu dan dalam perekonomian (multiplier effect) 47 ribu orang.

Penjualan Mobil RI Nyaris Disalip Malaysia

Gaikindo mengungkap fakta bahwa pajak kendaraan yang terlalu tinggi mengakibatkan penjualan mobil di Indonesia nyaris disusul oleh Malaysia.

Sekretaris Umum Gaikindo Kukuh Kumara mengatakan, penjualan mobil di RI sepanjang 2024 tembus 865.723 unit, dengan pangsa pasar di Asean sebesar 28%. Sementara itu, penjualan mobil di Malaysia tembus 816.747 unit, dengan pangsa pasar 26%.

Padahal, jumlah penduduk Malaysia hanya 30,7 juta jiwa pada 2024, sangat jauh dibandingkan populasi penduduk di Indonesia yang sebesar 281,6 juta jiwa pada tahun lalu.

Alhasil, Gaikindo berharap penjualan mobil Indonesia tidak dikalahkan oleh Malaysia, sebab jumlah penduduk RI sekitar 280 juta jiwa tersebut dapat menjadi pasar potensial bagi industri otomotif.

“Mudah-mudahan enggak lah [penjualan mobil RI disalip Malaysia]. Kita berharap karena penduduk RI 280 juta, itu potensi, tinggal bagaimana kita untuk menjaga. Kita pernah mencapai 1 juta unit, harus kita kembalikan ke angka tersebut," ujar Kukuh pada acara yang sama.

Salah satu faktor penyebabnya, menurut Kukuh karena pemerintah Malaysia mempertahankan dukungan kebijakan di industri otomotif sejak masa pandemi Covid-19. 

“Kami mencoba mencari tahu, Malaysia yang penduduknya 30 juta lebih itu kenapa pasarnya bisa sampai tembus 800.000? Nah, informasi yang kami peroleh dari kolega kami di Malaysia, tampaknya mereka bisa mempertahankan kebijakan pada waktu pandemi belum dicabut,” katanya.

Selain itu, dia mengatakan pungutan pajak kendaraan di Indonesia jauh lebih tinggi dibandingkan Malaysia. Alhasil, pajak yang tinggi tersebut menjadi kendala dalam penjualan mobil di Indonesia.

“Kalau di Indonesia, mobil keluar dari pabrik misalnya harganya Rp100 juta, begitu sampai di konsumen itu bayarnya jadi Rp150 juta. Nah, Rp50 jutanya ini dari pajak. Ini yang menjadi salah satu kendala di kita,” katanya.

Sebagai perbandingan, Kukuh menyampaikan, misalnya untuk mobil tipe Avanza 1.5L di Malaysia, pajak kendaraan bermotor atau PKB-nya jika dikonversi ke rupiah hanya senilai Rp385.000. Sementara itu, PKB Avanza di Indonesia senilai Rp4 juta.

Sementara itu, bea balik nama (BBN) di Malaysia juga hanya dikenakan sekitar Rp500.000, dibandingkan di Indonesia yang sebesar Rp2 juta. Malaysia juga tidak mewajibkan warganya melakukan perpanjangan pajak 5 tahun, sedangkan di Indonesia wajib.

"Ini yang saya coba bandingkan. Saya ambil contoh saja misalnya model Avanza, di Malaysia, pajak tahunannya tidak lebih dari Rp1 juta rupiah, sedangkan di RI, bisa Rp6 juta. Jadi bisa dibayangkan kalau itu dikurangi kan lumayan,” jelasnya.

Alhasil, menurut Kukuh pemerintah perlu diberikan insentif jangka panjang untuk mendukung industri otomotif, serta meningkatkan daya beli masyarakat Indonesia.

Data Penjualan Mobil di Asean 2024:

1. Indonesia: 865.723 unit

2. Malaysia: 816.747 unit

3. Thailand: 562.954 unit

4. Filipina: 467.253 unit

5. Vietnam: 340.142 unit

6. Singapura: 52.828 unit


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Penulis : Rizqi Rajendra
Bisnis Indonesia Premium.

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Bisnis Indonesia Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper