Bisnis.com, JAKARTA – Produsen otomotif asal Jepang, Suzuki mengakui telah melakukan efisiensi dari sisi biaya (cost) terhadap proses manufaktur atau perakitan kendaraan di pabrik perseroan, seiring dengan lesunya kondisi pasar otomotif Tanah Air.
Managing Director Suzuki Indomobil Motor (SIM) Shodiq Wicaksono mengatakan, lesunya pasar otomotif, ditambah dengan adanya perang harga dari pabrikan kendaraan listrik asal China kian membebani para pelaku industri.
“Jadi sebetulnya kalau perang harga menurut saya itu hal yang wajar kalau dalam dunia marketing lah ya. Tapi kan kemudian ini menjadi sangat bermasalah ketika pasarnya juga turun,” ujar Shodiq saat ditemui di Gaikindo Indonesia International Auto Show (GIIAS) 2025, dikutip Sabtu (2/8/2025).
Data Gaikindo mencatat sepanjang periode Januari-Juni 2025, total penjualan mobil wholesales ambles 8,6% (year-on-year/yoy) menjadi 374.740 unit, dibandingkan periode yang sama pada tahun sebelumnya sebanyak 410.020 unit.
Sementara itu, penjualan mobil secara ritel pun turun 9,7% menjadi 390.467 unit, dibandingkan 6 bulan pertama 2024 sebanyak 432.453 unit.
Menurut Shodiq, di luar perang harga, dampak dari penyusutan pasar juga berpengaruh dari sisi rantai pasok industri sehingga turut berdampak terhadap para pemasok (supplier).
Baca Juga
"Artinya, tentunya bukan hanya kita yang suffering ya, karena produksi turun, otomatis biaya fixed cost juga akan harus ditanggung lebih tinggi kan berarti untuk per unitnya. Teman-teman supplier di akhirnya mengalami masa-masa sulit," tuturnya.
Adapun, kinerja produksi mobil secara nasional juga mengalami penurunan 1,7% yoy menjadi 552.509 unit pada 6 bulan pertama 2025, dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya sebanyak 561.946 unit.
Kendati demikian, Suzuki tetap berupaya agar tidak melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) terhadap karyawan yang bekerja di pabrik perseroan.
“Sejak pandemi Covid pun kami berkomitmen untuk tidak melakukan layoff ya, kami akan menjaga. Makanya tadi efisiensi dan lain sebagainya itu pun jadi salah satu cara kami menekan biaya, supaya tetap bisa menggaji karyawan. Walaupun risiko tetap ada ya, mau tidak mau,” kata Shodiq.
Alhasil, menurutnya, perang harga di kalangan pelaku industri otomotif sah-sah saja dilakukan, asal kondisi ekonomi tetap mendukung dan volume penjualan kendaraan tetap bertumbuh.
“Karena perang harga mungkin bisa saja dilakukan, tapi kalau secara ekonomi makronya menjadi lebih bagus, otomatis volumenya naik, menjadi bisnis seperti biasa saja. Jadi harapan kami selalu positif sehingga tahun depan jadi lebih bagus lagi, jadi kami harus bertahan," ujarnya.