Bisnis.com, JAKARTA - Pasar otomotif diramalkan akan dipenuhi oleh tantangan pada paruh kedua tahun ini. Beberapa penyebabnya adalah penurunan daya beli masyarakat, kondisi geopolitik yang tidak stabil hingga opsen pajak.
Pengamat otomotif dari Institut Teknologi Bandung (ITB) Yannes Martinus Pasaribu menilai penjualan mobil untuk semester II/2025 di Indonesia menghadapi dinamika yang kompleks di antaranya PPN terhadap barang/jasa mewah naik menjadi 12%, ketidakpastian terkait opsen pajak daerah untuk PKB dan BBNKB, dan perlambatan ekonomi makro nasional.
"Penurun daya beli middle income class [segmen terbesar buyer mobil], kenaikan kurs dollar AS yang menaikkan harga parts impor, kenaikan harga bahan baku akibat situasi geopolitik juga memperberat tekanan inflasi, sehingga mempengaruhi produksi dan harga mobil," ujarnya kepada Bisnis, Rabu (9/7/2025).
Meskipun demikian, sambungnya, peluang untuk industri dan pasar otomotif - khususnya mobil - tetap ada. Yannes mengatakan bahwa beberapa upaya pemerintah seperti pemberian insentif fiskal dan pajak pada sektor otomotif bisa menjadi solusi.
"Solusinya di atas kertas gampang, tapi implementasinya tidak mudah," ujarnya.
Menurutnya, pemerintah perlu menstabilkan kebijakan fiskal dan pajak, termasuk memperjelas opsen PKB dan BBNKB, memperpanjang relaksasi PPnBM, serta menyediakan skema kredit berbunga rendah untuk mendongkrak daya beli masyarakat, khususnya kelas menengah.
Baca Juga
Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo) telah mengumumkan data kinerja penjualan mobil nasional yang masih melemah pada Juni 2025.
Mengacu data terbaru Gaikindo yang diterima Bisnis, penjualan mobil secara wholesales pada Juni 2025 sebesar 57.760 unit, atau merosot 22,6% secara year-on-year (yoy) dibandingkan Juni 2024 sebanyak 74.615 unit.
Di lain sisi, penjualan mobil secara ritel alias dari dealer ke konsumen juga susut 12,3% yoy menjadi 61.647 unit pada Juni 2025, dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya sebanyak 70.290 unit.
Insentif BEV dan Hybrid
Pemerintah telah memutuskan untuk kembali memberikan insentif fiskal bagi kendaraan listrik dan hybrid pada tahun ini.
Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat, Direktorat Jenderal Pajak, Dwi Astuti mengatakan, ketentuan insentif itu diatur melalui Peraturan Menteri Keuangan Nomor 12 Tahun 2025 (PMK 12/2025) yang diterbitkan dan mulai berlaku pada 4 Februari 2025.
“Insentif ini diberikan sebagai upaya mendukung kebijakan pemerintah dalam mendorong terciptanya emisi karbon rendah dari kendaraan listrik dan hybrid,” ujarnya beberapa waktu lalu.
Dia menjelaskan, pemerintah memperpanjang insentif pajak pertambahan nilai ditanggung pemerintah (PPN DTP) atas penjualan kendaraan bermotor listrik (KBL) berbasis baterai roda empat tertentu dan kendaraan bermotor listrik (KBL) berbasis baterai bus tertentu.
Selain itu, pemerintah juga memperpanjang insentif pajak penjualan atas barang mewah ditanggung pemerintah (PPnBM DTP) atas penjualan kendaraan bermotor roda empat emisi karbon rendah (low carbon emission vehicle atau LCEV) listrik tertentu (hybrid) hingga akhir 2025.
Melalui PMK 12/2025, insentif PPN DTP atas penjualan KBL berupa roda empat tertentu dan bus tertentu diperpanjang sebagaimana kebijakan sebelumnya, yaitu PPN DTP 10% dari harga jual untuk KBL dengan nilai tingkat kandungan dalam negeri (TKDN) paling rendah 40%.
Kemudian, PPN DTP sebesar 5% dari harga jual untuk KBL berupa bus tertentu dengan nilai TKDN paling rendah 20% sampai dengan kurang dari 40%.
Sementara itu, insentif PPnBM DTP sebesar 3% diberikan bagi LCEV jenis full hybrid, mild hybrid, dan plug in hybrid yang memenuhi kriteria kendaraan rendah emisi sebagaimana diatur dalam pasal 37 Peraturan Pemerintah Nomor 73 Tahun 2019 sebagaimana diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2021.